|
karikatur tentang Makassar macet (foto: rakyatsulsel.com) |
SETIAP kali memasuki kota Makassar, selalu ada sesuatu yang berdesir di hati saya. Inilah kota yang setiap sudutnya menyimpan kenangan. Lebih sepuluh tahun silam, saya datang ke kota ini demi untuk menggapai asa dan belajar di perguruan tinggi. Selanjutnya, hati saya tertambat pada banyak hal di kota ini. Bukan saja tentang indahnya masa-masa kuliah, tapi juga dinamika, aktivitas, bara kemahasiswaan, kisah konyol sebagai pejalan kehidupan, hingga semilir angin di sela-sela pepohonan.
Di setiap sudut Kota Makassar, saya mengenang banyak hal. Ketika melihat kampus Universitas Hasanuddin (Unhas), saya seolah menyaksikan masa-masa yang lewat, masa ketika duduk di koridor kampus lalu belajar bersama para aktivis untuk membaca kenyataan. Meskipun harus saya akui bahwa kampus itu menyimpan catatan kelam di lembar-lembar buku kehidupan saya.
Ketika melihat pusat pertokoan, saya membayangkan saat-saat ketika massa membakar pertokoan tersebut. Sejak dahulu. Makassar adalah hotspotkonflik yang warganya amat mudah mencabut badik. Kehormatan dan harga diri adalah segala-galanya. Namun di kota ini pula saya menemukan makna persahabatan yang tulus dengan ikrar untuk saling menjaga dan melindungi.
Ketika melihat sisi lain kota, saya membayangkan masa ketika pertamakali karier sebagai jurnalis, yang berpanas-panas setiap hari demi mengejar narasumber, atau saat menulis berita dan mengeditnya, sebelum ditayangkan ke hadapan publik. Dahulu, saya adalah jurnalis yang berusaha menangkap denyut nadi kota. Tanpa bermaksud angkuh, saya mengenali setiap inchi kota ini, bahkan pada wilayah yang tidak banyak diketahui publik.
Kini, pada kepulangan setelah berlayar mencari ilmu ke negeri jauh, saya mestinya lebih lama di kota ini. Namun entah kenapa, saya merasa kehilangan banyak hal. Bukan saja kehilangan kenangan, tapi juga kehilangan kenyamanan serta datangnya rasa geram karena melihat kota yang semakin tak terurus. Saya sedih melihat kota yang berkembang tanpa arah demi memuaskan segelintir kelas menengah yang merasa dirinya sebagai pemilik kota.
Fisik kota memang berubah drastis. Konon, sejak beberapa tahun silam, Makassar sudah jadi kota sejuta rumah toko (ruko). Di mana-mana saya menyaksikan ruko yang pernah dibanggakan pejabatnya sebagai indikator kemajuan ekonomi. Saya juga menyaksikan banyak mal baru bertumbuhan bak cendawan. Dahulu, hanya ada Mal Ratu Indah di Jalan Pattimura, atau Matahari di Jalan Sungai Saddang. Kini, jumlahnya semakin membengkak di dalam kota sehingga jalan-jalan tak kuasa menampung lebih 2 juta penduduknya yang berseliweran.
Dahulu, mobil-mobil melintas di Jalan Perintis Kemerdekaan dengan amat mulus seolah sedang melalui jalan bebas hambatan. Kini, sejak mal dibangun di dekat jembatan Tello, jalanan itu menjadi satu titik kemacetan. Tak perlu analisis yang canggih-canggih, periksa di seluruh Makassar, sentra-sentra kemacetan adalah wilayah yang di dekatnya ada mal atau pusat perbelanjaan.
Di negeri lain, pusat perbelanjaan tak didirikan di tengah kota. Sebab kota didesain sebagai hunian yang nyaman dan menjadi ruang bagi warganya untuk hidup dan beraktivitas. Sementara pusat perbelanjaan atau mal sengaja dibangun di pinggiran. Sementara di Makassar, dan juga di kota-kota lain di Indonesia, mal dijadikan etalase kemajuan kota. Kenapa pusat perbelanjaan tidak dipindahkan di pinggiran kota
|
sekitar lapangan Karebosi |
|
depan RRI |
Di sisi lain, saya menyaksikan matinya pasar tradisional yang kian tergantikan oleh Alfamart, Indomaret, atau mal-mal yang hebat dan mentereng di sana. Para pedagang kecil, yang merupakan anak negeri yang semestinya dijaga dan dibela, menjadi warga marginal yang seolah menjadi sampah kota yang setiap saat digaruk oleh aparat pemerintah. Kota ini tak didesain untuk mereka yang berjalan kaki atau bersepeda demi menjajakan dagangan. Bahkan, kota ini juga bukan untuk mereka yang berdagang kecil dengan modal pas-pasan serta selalu was-was dikejar pihak bank atau debt collector.
Bagi mereka yang berjalan kaki, sebagaimana saya, kota ini adalah neraka. Tak ada trotoar di mana-mana. Tak ada fasilitas buat pejalan dengan pohon-pohon rindang sebagai tempat berteduh. Tak ada tempat nyaman untuk duduk dan melihat-lihat. Yang ada hanyalah jalan-jalan kota yang kian sempit dan dijubeli ribuan kendaraan yang saling berebut ruang di jalan raya.
Makassar serupa Jakarta yang terus-menerus digerogoti virus kemacetan dan banjir yang setiap saat menerjang kota. Jalan-jalan sempit dan macet itu kian tak sanggup menampung luapan jumlah kendaraan. Ribuan warga yang saling sikut di jalan raya demi mencari sesuap nasi adalah potret-potret buram yang semakin menegaskan kota ini sebagai kota yang layak mendapat predikat terburuk setelah Jakarta.
Dahulu, Jakarta adalah ikon segala kesemrawutan. Kini, Makassar bersiap-siap untuk menyalip Jakarta dengan segala problem yang menderanya. Lucunya, para pejabat publik tak pernah sadar bahwa ada sesuatu yang salah dengan Makassar. Dengan entengnya, mereka mengutip sejumlah statistik tentang pertumbuhan ekonomi dan kemajuan kota. Katanya, Makassar segera menjadi kota dunia. Semuanya adalah bullshit!
Indikator makro itu tak pernah bisa menjelaskan tingat kenyamanan serta keresahan warga kota. Indikator itu tak akan menjelaskan tingkat stres warga yang disengat udara panas, serta tiadanya ruang hidup yang sehat dan nyaman dengan daya dukung ekologis yang mestinya membahagiakan warga kota.
|
jalanan macet |
Mungkin adalah konsekuensi dari pertumbuhan. Tapi saya memendam satu pertanyaan nakal, bisakah kita memindahkan pertumbuhan ke wilayah lain sehingga Makassar tetap menjadi kota yang nyaman dan romantik yang menjadi tempat berkumpul berbagai manusia dengan segala dinamika kebudayaannya? Bisakah kita memindahkan para kapitalis itu ke planet lain agar mereka sibuk membangun kerjaaan hebat yang penuh mal serta pusat perbelanjaan yang megah, tanpa harus merecoki kehidupan kita semua?
Bisakah kita mengembalikan Makassar sebagai kota kecil dengan pohon-pohon rindang, yang di pagi hari warganya berkumpul di warung kopi demi sekadar berbincang dengan warga lain lalu berangkat kerja, dan di sore hari memiliki waktu-waktu untuk menelusuri pedestrian lalu duduk di lapangan hijau dan pohon-pohon rindang sembari membaca novel dan menyaksikan anak kecil yang bermain petak umpet di pepohonan itu?
Ah, mungkin saya kebanyakan berharap. Yang pasti, gerak kota kian kencang, hingga menggilas banyak kenangan. Dan saya duduk di pinggiran sembari berkhayal tentang masa yang pernah ada, namun abadi dalam pemikiran nakal saya. Ah, Makassar semakin kasar di mata saya. Yang pasti, kota ini tak lagi semolek gadis-gadisnya. Kota ini tak lagi seindah syair para penjelajah di masa silam yang pernah mematrikan kenangan di kota ini.
Makassar, 23 Mei 2013
Ditulis seusai terjebak macet
selama beberapa jam di Jalan Perintis Kemerdekaan