Muhammad Natsir bukan hanya sebatas negarawan. Dia juga salah satu pemikir modern Islam. Natsir dikenal sebagai peletak dasar-dasar dakwah di Indonesia. Namun, dalam kurikulum pendidikan Indonesia, Natsir hanya dikenal sebagai mantan Perdana Menteri Indonesia dan pendiri sekaligus pemimpin Partai Masyumi pada periode 1949-1958.
Jiwa Natsir adalah jiwa dakwah. Dalam buku, M. Natsir: Dakwah dan Pemikirannya, Thohir Luth menuliskan, dalam berdakwah Natsir mengedepankan kemerdekaan berpikir dan tidak menggurui. Bagi Natsir memukau jamaah dalam berdakwah tidak lantas dengan menghujat atau mengkafirkan orang lain. Dalam bukunya Thohir menilai, salah satu tujuan dakwah bagi Natsir adalah untuk memecahkan persoalan hidup. Baik itu persoalan hidup pribadi, rumah tangga, jamaah, hingga masalah hidup berbangsa dan bernegara. Dakwah bukan sebagai penyebar akar kebencian.
Saking pentingnya dakwah untuk umat Islam, Natsir menuliskannya alam buku, Fiqhud Dakwah, atau pemahaman tentang dakwah. Dalam buku itu Natsir menjelaskan, kekuatan dakwah bukan terletak pada gaya, pesona, dan retorika. Bukan juga berdasarkan pada kecanggihan peralatan teknis yang digunakan. Namun pada kemampuan dai dalam menyampaikan argumentasi yang bisa diterima oleh jamaah itu sendiri.
Dalam panduan dakwah itu, Natsir mensyaratkan seorang dai perlu memahami kemerdekaan berpikir dalam berdakwah. Ini tidak lain agar dai, memiliki pikiran terbuka dan wawasan yang luas. Hal itu berguna saat berhadapan dengan segala macam model medan dakwah dengan jamaah yang memiliki kemampuan berpikir tidak terduga.
Penjelasan Natsir itu tidak hanya sebatas teori belaka. Pengalamannya dan kapasitasnya sebagai pendakwah diakui saat masih hidup, baik di Indonesia hingga manca negara. Ini bisa dilihat dengan berbagai penghargaan dari berbagai lembaga dakwah Internasional.
Saat berdakwah selalu dinanti-nantikan dan dipenuhi oleh banyak kalangan. Bahkan saat masih hidup, saat memimpin Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII), tamu tidak pernah sepi mengalir untuk menemuinya, meski hanya untuk meminta nasihat atau meminta bantuan.
Dalam penjelasan Thohir, Natsir menjadikan dakwah sebagai misi, bukan sebagai profesi. Menurut Thohir, bagi Natsir tugas dakwah adalah kewajiban. Apapun profesi yang ditekuni, tugas menyampaikan kebenaran harus tetap dilakukan, dai yang berprofesi politisi, dai yang berprofesi dokter, dan yang lainnya.
Keteguhan atas pilihan itu terlihat saat Partai Masyumi dibubarkan Presiden Soekarno pada 1960 karena dianggap kontra revolusi dan menolak sistem demokrasi terpimpin. Semua haknya dikebiri dan langkahnya dipersempit dalam dunia politik saat itu.
Thohir menuliskan lebih lanjut, dalam kondisi itu Natsir tidak menyerah. "Kita tak lagi mengadakan dakwah dengan cara-cara politik, tetapi terlibat dalam aktivitas-aktivitas politik dengan cara-cara dakwah," kata Natsir seperti ditulis Thohir.
Keinginannya ingin membangun umat Islam melalui dakwah tidak pernah berhenti. Setelah keluar dari penjara, Natsir mendirikan Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) pada 26 Februari 1967 di Tanah Abang, Jakarta Pusat. Lembaga itu mengkader calon dai yang dipersiapkan untuk masjid-masjid sekitar Jakarta hingga memiliki cabang seluruh provinsi Indonesia.
Pola-pola dakwah yang dikonsep Natsir tidak hanya melalui khotbah atau pidato saja. Berbagai model digunakan, salah satunya lewat tulisan. Dalam salah beberapa literatur menyebutkan, buletin Jumat yang biasa dibagikan saat pelaksanaan salat Jumat di masjid-masjid adalah ide Natsir saat di DDII. Hal itu dilakukan untuk mendobrak pola dan model dakwah yang konvensional.
Natsir meninggal di Jakarta, pada 6 Februari 1993 dalam usia 84 tahun. Semasa hidupnya Natsir tak pernah lelah untuk memajukan umat Islam. Baik melalui lembaga pendidikan Islam yang didirikannya hingga berdakwah, melatih calon dai, dan menulis risalah-risalah dakwah.
Judul : M. Natsir, sang peletak risalah dakwah
Deskripsi : Muhammad Natsir bukan hanya sebatas negarawan. Dia juga salah satu pemikir modern Islam. Natsir dikenal sebagai peletak dasar-dasar dakwah ...