Seorang mantan mata-mata Korea Utara menuturkan perannya dalam meledakkan sebuah pesawat jet sipil Korea Selatan tahun 1987, yang menewaskan semua 115 penumpangnya, setelah "dijemput" dari halaman sekolah untuk bekerja buat rezim itu. Kim Hyun-hee, yang kemudian ditangkap dan mencoba bunuh diri dengan menelan sianida, keluar dari persembunyiannya guna menjelaskan prihal rezim Korea Utara yang provokatif itu dan berbagai upaya putus asa pemimpin yang "tidak berpengalaman", Kim Jong-un, untuk mengendalikan kontrol atas militer.
Perempuan 51 tahun tersebut dijatuhi hukuman mati setelah serangan tahun 1987 itu. Saat itu ia dan seorang rekan prianya berhasil menanam bom di pesawat yang terbang dari Baghdad ke Seoul melalui Abu Dhabi. Walau telah menyebabkan kematian 115 penumpang, ia kemudian diampuni setelah pemerintah Korea Selatan memutuskan bahwa dia telah menjadi korban cuci otak rezim Korea Utara.
Dalam sebuah wawancara dari lokasi yang dirahasiakan di Korea Selatan di mana kini ia hidup dalam ketakutan bersama suami dan dua anaknya, dia memberikan wawasan yang langka tentang kerja orang-orang di lingkaran dalam dari negara yang tertutup itu dan pemimpinnya yang masih muda.
"Dia sedang berjuang untuk mendapatkan kontrol penuh atas militer dan untuk memenangkan loyalitas mereka," katanya kepada ABC. "Itulah sebabnya dia melakukan begitu banyak kunjungan ke pangkalan militer, untuk memastikan dukungan. Dia juga menggunakan program nuklir sebagai tawar-menawar buat bantuan, untuk membuat publik berada di belakangnya.''
Nyonya Kim menambahkan, "Korea Utara bukan sebuah negara, itu sebuah sekte. Korea Utara menggunakan program nuklirnya untuk membuat rakyatnya tetap dalam antrean dan mendorong Korea Selatan dan Amerika Serikat melakukan konsesi,'' katanya.
Nyonya Kim mengatakan dia pertama kali "dipilih" untuk menjadi mata-mata oleh para pejabat partai yang muncul dalam sebuah sedan hitam di sekolahnya. Mereka mengatakan padanya untuk berkemas dan hanya memberi kesempatan satu malam bersama keluarganya sebelum ia diberi nama baru dan dibawa ke sebuah sekolah mata-mata di gunung untuk dilatih dalam seni bela diri, senjata, dan bahasa.
"Saya bahkan tidak diijinkan untuk mengucapkan selamat tinggal kepada teman-teman saya,'' katanya. "Di Korea Utara, saya diajarkan bahwa (pendiri) pemimpin kami Kim Il-sung adalah dewa. Anda diajarkan untuk mengutamakan dia ketimbang orang tua Anda sendiri. Anda belajar sejak usia dini untuk mengatakan 'Terima kasih, Pemimpin Besar' untuk semuanya. Dan jika Anda mengatakan hal yang salah, bahkan jika itu hanya kesleo lidah, Anda akan berakhir di gulag.''
Dia mengatakan bahwa, setelah delapan tahun menjalani pelatihan, dia dipilih untuk terlibat dalam misi meledakkan pesawat jet Korean Air. Rencana itu dibuat oleh Kim Jong-il, ayah dari Kim Jong-un, pemimpin yang sekarang. Tujuannya untuk menakut-nakuti warga asing sehingga tidak tertarik pada Olimpiade Seoul tahun 1988.
Nyonya Kim bekerja sama dengan seorang mata-mata Korea Utara yang lain, Kim Seung-il, dan keduanya menyamar sebagai turis Jepang. Kim Seung-il bertindak sebagai ayah dan Kim Hyun-hee sebagai putrinya. Mereka naik pesawat di Baghdad, menanam bom di sebuah radio transistor dan mengaturnya untuk meledak sembilan jam kemudian. Pasangan itu meninggalkan pesawat ketika mendarat di Abu Dhabi dan bom itu meledak saat pesawat tersebut terbang ke Seoul.
Semua 115 penumpang pesawat itu tewas. Pemboman itu mendorong Amerika Serikat untuk memasukan Korea Utara sebagai negara pendukung terorisme.
Kim dan rekannya ditangkap ketika mereka mencoba untuk meninggalkan Bahrain setelah pihak berwenang menyadari bahwa mereka bepergian dengan paspor palsu. Selagi mereka dicari, Kim Seung-il mengatakan kepadanya bahwa mereka masing-masing harus menelan sianida yang tersembunyi dalam sebungkus rokok. Pria itu meninggal, tetapi perempuan itu berhasil diselamatkan.
Dia diadili dan divonis mati di Korea Selatan. Setelah berkendara melalui jalan-jalan Seoul, ia mulai menyadari bahwa ia telah dicuci otaknya di Korea Utara. Dia kemudian diampuni. "Saya melihat betapa modern Seoul,'' katanya. "Saya mendengarkan bagaimana para agen di sekitar saya berbicara begitu bebas. Ini semua yang bertentangan dengan saat saya diberitahu di Korea Utara."
Dia diampuni setelah pemerintah Korea Selatan memutuskan bahwa dia adalah korban dari sekte Kim. "Saya menyesali apa yang saya lakukan dan saya bertobat,'' katanya. '' Saya merasa saya tidak boleh menyembunyikan kebenaran kepada anggota keluarga dari mereka yang meninggal.''
Artikel Terkait: